Dilema Etika
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akuntan
merupakan profesi yang keberadaanya sangat tergantung pada kepercayaan
masyarakat. Sebagai sebuah profesi, seorang akuntan dalam menjalankan tuganta
harus menjunjung tinggi etikanya. Etika akuntan telah menjadi isu yang menarik.
Di Indoensia isu ini berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran
etika baik yang dilakukan oleh akuntan publik, akuntan internal, maupun akuntan
pemerintah. Untuk kasus akuntan publik, beberapa pelanggaran etika ini dapat ditelusuri
dari laporan Dewan Kehormatan IAI dalam laporan pertanggungjawaban pengurus
IAI.
Dalam
hal etika, sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang
dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam
menjalankan atau mengembanb profesi tersebut, yang biasa disebut sebagain kode
etik. Kode etik harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan
jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat
luas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap profesional wajib menaati
etika profesinya terkait dengan pelayanan yang diberikan apabila menyangkut
kepentingan masyarakat luas.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka dirumuskan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1. Menjelaskan
penalaran moral
2. Menjelaskan
model pengambilan keputusan etis
3. Menjelaskan
riset perilaku etis akuntan
4. Menjelaskan
studi pengembangan etis
5. Menjelaskan
studi keputusan etis
6. Menjelaskan
implikasi bagi riset mendatang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dilema
Etika
Akuntan
di dalam aktivitas auditnya memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan
karena auditor mewakili banyak konflik kepentingan yang melekat dalam proses
audit (built in conflict of interest).
Sering kali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam
konflik audit. Konflik dalam audit akan berkembang pada saat auditor
mengungkapkan informasi yang oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum.
Konflik ini akan menjadi sebuah dilemma etika ketika auditor diharuskan membuat
keputusan yang menyangkut independensi dan integritasnya dalam imbalan ekonomis
yang mungkin dijanjikan di isi lainnya. Karena auditor seharusnya secara sosial
juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan
kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis
semata, sering kali diharapkan pada dilemma etika dalam pengambilan
keputusannya.
Dilema
etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam
situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis. Situasi tersebut
terbentuk karena dalam konflik terdapat ada pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap keputusan auditor, sehingga auditor dihadapkan kepada pilihan
keputusan antara yang etis dan tidak etis.
Penalaran Moral
Penalaran
moral dan pengembangan memainkan peran kunci dalam seluruh area profesi
akuntansi. Akuntan yang secara kontinu dihadapkan pada dilemma berada pada
konflik nilai. Akuntan pajak, misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode
akuntansi yang akan dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode
yang mencerminkan sifat ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang
paling sesuai mengambarkan perusahaan. Auditor harus memeprtimbangkan
konsekuensi pengungkapan informasi yang berlawanan tentang klien yang membayar
audit fee mereka. Akuntan yang dihadapkan dengan konflik etika tersebut harus
memutuskan secara khusus kesinambungan dari keseimbangan titik temu antara
niaya dan manfaat pada dirinya, orang lain dan masyarakat secara keseluiruhan.
Ketika keputusan profesional didasarkan pada keyakinan dan nilai individual,
maka penalaran moral memainkan peranan penting dalamn keputusan akhir
seseorang.
Masalah
etika dalam akuntansi bukanlah hal yang baru meskipun baru-baru ini masalah
etika menjadi perhatian utama. Misalnya, terdapat seruan akan kebijkan-kebijkan
etika perusahaan yang disertai dengan saksi yang lebih keras. Sejalan dengan
inisiatif baru ini, minat terhadap perilaku etis akuntan profesional
diperbarui. Misalnya saja, terdapat sejumlah studi akademis terbaru yang
didedikasikan untuk penalaran moral dan pengembangan akuntansi profesional
publik. Arnold dan Ponemon menekankan pentingnya paradigm riset ini karena
alasan-alasan berikut:
1. Riset
tingkat penalaran moral akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan mengenai
resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.
2. Riset
dalam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan
keputusan etika akuntan.
B.
Model
Pengambilan Keputusan Etis
1.
Teori
Penalaran Moral dari Kohlberg
Pengembangan
psikologi moral dimulai dari karya psikolog Piaget. Berdasarkan pada karya
Piaget, klien kemudian mengembangkan sebuah teori keputusan moral yang
memasukkan serangkaian pengembangan keseimbangan (equilibria) yang ada dalam diri seorang individu. Menurut teori
ini, individu secara berurutan mengalami kemajuan ke tingkat atau tahap moral
reasoning yangv lebih sebagai bagian dari proses pertambahan usia.
Kolhberg
menyamakan tiga tingkatan ini dengan tiga jenis hubungan yang berbeda antara
diri, aturan, dan harapan masyarakat. Pada tingkat prakonvensiional, seorang
individu terutama memperhatikan efek aksi yang dipilih terhadap dirinya. Pada
tingkat ini karena aturan dan harapan social bersifat eksternal terhadap
dirinya, maka keduanya tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan
keputusan. Seorang individu pada tingkat ini umumnya mengikuti hukum masyarakat
dan memenuhi harapan masyarakat karena hal tersebut menguntungkan. Seorang
individu pada tingkat pascakonvensional mendefiniskan nilai pribadi dalam
pengertian individual yang yang dipilih dari prinsip-prinsip dan membedakan
dirinya dari aturan dan harapan orang lain. Individu tidak harus berada di atas
hukum masyarakat dan sesuai dengan perhatian masyarakat. Pada masing-masing
tingkatan terdapat dua tahap perkembangan, sehingga secara total terdapat enam
jenis keseimbangan yang terpisah.
Rest
mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kolhberg adalah bagian yang integral
dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest
menyatakan bahwa ethical reasoning
hanya merupakan bagian dari kapasitas individu secara keseluruhan untuk
membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest selanjutnya mengidentifikasikan
empat kompenen dalam menentukan perilaku moral, yaitu:
Ø Sensitivitas
moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)
Ø Keputusan
moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral)
Ø Motivasi
moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya)
Ø Karakter
moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral)
Model rangkaian tahap dari Kolhberg
tentang tingkat perkembangan moral individual berhubungan dengan komponen kedua
dari model pengambilan keputusan etis. Kolhberg menyatakan bahwa individu pada
tingkat moral reasoning yang lebih
tinggi dapat melakukan tindakan moral yang benar. Hasil empiris adalam konteks
akuntansi juga menghubungkan tingkat moral
reasoning yang lebih rendah dengan pertanyaan mengenai independensi dari
penilaian, kegagalan untuk mendeteksi penipuan laporan keuangan, dan tidak
terdapatnya pengungkapan atas temuan audit sensitif melalui pengaduan (whistle blowing). Sebuah alternatif
terhadap teori Kolhberg dikembangkan oleh Gilligan yang mematiskan bahwa model
Kolhberg bias dalam hal gender dalam meneliti perspektif moralitas perempuan. Sebaliknya, ia
menyampaikan bahwa perempuan mempunyai orientasi untuk ‘merawat’, yang
merupakan suatu orientasi dari tahap pengembangan moral yang terpisah dan
berbeda dari laki-laki. Meskipun perspektif alternatifnya telah didukung oleh
bukti anekdot, masih belum ditemukan dukungan empiris. Selanjutnya, Kolhberg
menyatakan bahwa karena wawancarnya dilakukan semata-mata dengan perempuan
tidak berarti bahwa beberapa perbandingan dengan perspektif laki-laki tidak
dibenarkan. Terlepas dari masalah ini, perspektif feminis seharusnya tidak
diabaikan dalam aplikasi riset sekarang. Pertimbangan perspektif feminis
penting terhadap asumsi pertanyaan yang terus menerus yang mendasari teori saat
ini.
2.
Ukuran
Moral Reasoning
Sebagai
alternative dari MJI, Rest mengembangkan pengujian definsi masalah (definition of issue test-DIT), yang
berupa kuesioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan ukuran
objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis (bukan berupa skor
tunggal). DIT menampilkan subjek dengan enam scenario hipotesis, masing-masing
berhubungan dengan dilema etika (misalnya mencuri informasi dari pihak yang
berwenang, kebebasan berbicara, membantu tindakan bunuh diri, diskriminasi
rasial, dan kebebasan untuk mengajukan protes).
Karena
MJI terdiri dari wawancara verbal, DIT (sebuah instrument tertulis) lebih
sederhana untuk dilaksanakan pada poin yang ditentukan untuk masing-masing
respons. Skor DITP (prinsip) adalah jumlah respons yang berhubungan dengan
tingkat moral reasoning tertinggi dan mengukur persentase respons tahap lima
dan enam (misalnya mereka yang konsisten reasoning pascakonvensional dan norma
masyarakat). Konsekuensinya, semakin tinggi skor P, maka semakin sedikit jumlah
respons tahap satu sampai dengan empat. Skor DIT P telah terbukti menjadi
ukuran objektif dengan skor validitas dan realibilitas statistik sangat tinggi.
DIT telah digunakan secara luas dalam litelatur akuntansi, bukan saja dalam
perbandingan antara akuntan univariate dengan kelompok lain dengan latar
belakang sosioekonomi yang berbeda, tetapi juga covariate dalam studi perilaku
(tidak) etis.
Dalam
konteks domain spesifik (misalnya akuntansi), pengendalian DIT sebagai ukuran
kapasitas etis menjadi semakin diperdebatkan. Sementara perilaku etis ditemukan
berhubungan degan tingkat moral reasoning
yang lebih tinggi (seperti diukur oleh DIT), studi perbandingan telah
menujukkan bahwa tingkat moral reasoning
akuntansi profesional secara konsisten berada jauh di bawah temuan untuk
tingkat moral reasoning akuntan yang buruk. Fogarty, misalnya menyerang
penggunan DIT berdasarkan beberapa alasan, menyatakan bahwa sebagai aebuah
kognitif, DIT mengabaikan motivasi dan karakteristik berbasis emosi lainnya. Ia
juga mempertahankan bahwa akuntan seharusnya dianalisis pada tingkat kelompok
ndan bukannya tingkat individual.
Sebuah
asumsi implist dalam seluruh studi yang menggunakan DIT adalah bahwa semakin
tingkat skor DIT semakin baik. Misalnya saja, Kolhberg menyatakan bahwa ketika
seorang individu mengalami kemajuan melalui tahapan tersebut, mereka mengatasi
gaya pemikiran lama dan memandang dirinya sebagai individu tidak memadai dan
sederhana. Sementara, Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak di sepanjang
tahap naik seperti anak tangga. Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang
menjadi preferensi dari akuntan.
3.
Pendekatan
Kognitif Lingkungan Terhadap Pengambilan Keputusan Etis
Ketika
banyak riset yang berhubungan dengan perilaku etis individual menggunakan DIT
untuk mengatur tingkat moral reasoning
individual (misalnya urutan peringkat dari akternatif moral), telah berkembang
pendekatan tambahan yang membahas komponen lain dari model Rest. Misalnya,
mereka menyebutkan Skala Etis Multidimensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran
moral, yang merupakan komponen pertama dari model Rest dan menghubungkan teori
perencanaan perilaku dengan komponen tiga dan empat.
Reidenach
mengembangkan SEM untuk fokus pada dinamika pengambilan keputusan yang
melibatkan perilaku etis yang belum diselidiki. Delapan Skala Likert yang
bipolar dibagi ke dalam tiga dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme, dan
kontraktualisme, yang dimasukkan dalam ukuran. Skenario etis digunakan dengan memasukkan
deskripsi atas sutuasi tunggal sepanjang 100 kata. Flory et al menggunakan SEM
untuk mengkaji response tis terhadap 300 akuntan manajemen yang bersertifikat
(certified management accountant-CMA) terhadap empat skenario manajemen laba.
Tujuan utama dari studi tersebut adalah memvalidasi penggunaan SEM dalam
konteks akuntansi. Ketika tujuan ini dicapai, gambaran yang ditampilkan tidak
mendukung variabilitas antar-subjek sehingga menghasilkan perhatian pada
validitas eksternal. Cohen kemudian memperluas riset Reidebach dan Robin
terhadap situasi multinasional. Hasil untuk sampel subjek di Negara-negara
Amerika serikat dan lainnya menunjukkan munculnya konflik tambahan, yaitu
utilitarianisme yang penting dalam pengambilan keputusan etis. Sementara SEM
dikritik sebagai gagal untuk memasukkan bagaimana ukuran ini secara teoretis
berbeda dari karya pengembangan moral Kolhberg dan Rest, serta bahwa ukuran ini
mungkin menjadi alat yang lebih baik untuk memahami proses moral reasoning
akuntan. Cohen selanjutnya menunjukkan bahwa SEM adalah sebuah ukuran
sensitivitas moral yang merupakan komponen pertama dari model Rest. Dengan cara
yang sama, Shaub membuat model dari kemampuan auditor untuk mengenali konflik
etika sebagai sebuah fungsi dari orientasi etika lainnya
(idealism/relativisme), serta komitmen profesional dan organisasional mereka.
Teori
tentang aksi penalaran sangat berhubungan dengan niat sebelumnya dari komitmen
perilaku yang pada gilirannya diperediksi dari sikap pribadi individu terhadap
perilaku dan norma subjektif, misalnya, persepsi individual mengenai sikap
masyarakat terhadap perilaku. Alasannya bahwa teori tersebut telah dihubungkan
dengan tiga komponen Rest (motivasi moral) dan empat karakter moral. Teori
penalaran aksi telah memberikan landasan bagi banyak studi akuntansi, termasuk
usaha untuk mengidentifikasikan penyebab dari perilaku agresif auditor dalam
hubungannya dengan klien dan kepatatuhan pembayar pajak.
4.
Model
Alternatif Pengambilan Keputusan Etis
Di
luar bidang psikologi social, Noreen (1998) memperluas teori agensi dengan
membahas ekonomi etis dalam konteks kontrak. Didasarkan pada minat individual,
dia menyatakan bahwa perilaku etis (tekanan perilaku opportunistis) mungkin
sering menghasilkan aksi yang paling menguntungkan (daya tarik ekonomi).
Contoh, kepatuhan akuntan terhadap kode etik dan perilaku profesional AICPA
membatasi seberapa besar inferensi ekternal. Pendekatan teori agensi dari
Noreen bertentangan langsung dengan prinsip keunggulan pengguna, yang
didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, di mana keperntingan pengguna laporan
keuangan menjadi perioritas.
Terdapat
model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik untuk
profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi di mana auditor dianggap
melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat
model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen
(pemahaman keuntungan, pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain, dan
pengambilan keputusan final) untuk dibandingkan dengan model yang berbasis kode
etik dan perilaku profesional AICPA. Dengan cara yang sama, Finn dan Lampe
membuat dari keputusann berkaitan dengan penyampaian pengaduan auditor.
C.
Riset
Perilaku Etis Akuntan
1)
Studi
Pendidikan Etika
Studi
pendidikan etika berusaha menentukan efek pendidikan terhadap keahlian moral reasoning dari para praktisi dan
mahasiswa akuntansi. Sementara hasil dari banyak studi umumnya telah
menunjukkan bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan dengan pengaruh
tingkat moral reasoning individual,
temuan dalam ranah akuntansi telah menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak
mengalami kemajuan pada tingkat perkembangan moral sama seperti lulusan kampus
lainnya. Beberapa studi representative yang membahas masalah ini dibahas di
bagian berikutnya.
M. Armstrong (1987)
Satu
studi pertama yang menyelidiki hubungan antara perkembangan moral dan riset
perilaku dilakukan oleh M. Armstrong (1987). Tingkat moral reasoning dari CPA dibandingkan dengan mahasiswa yang sudah
dan belum lulus. Hal yang mengejutkan, skor DIT rata-rata CPA secara signifikan
lebih rendah daripada kedua kelompok tersebut. M. Armstrong (1987) menyimpulkan
bahwa para CPA yang menjadi responden kelihatannya mencapai tingkat kematangan
moral orang dewasa pada umumnya, hal ini merupakan kebalikan dari tingkat
kematangan lulusan kampus. Dengan kata lain, pendidikan kampus mungkin tidak
mendorong kelanjutan dari pertumbuhan moral. Pengarang menyampaikan bahwa
pendidikan akuntansi memasukkan lebih banyak diskusi moral, sehingga akuntan
dapat mencapai tingkat moral reasoning yang serupa dengan lulusan kampus lain.
Ponemon dan Glazer (1990) serta
Jeffrey (1993)
Poneman
dan Glazer memperluas penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan dengan membandingkan mahasiswa dan alumni
untuk dua lembaga pendidikan yang terletak di daerah timut Amerika Serikat.
Lembaga yang pertama adalah suatu kampus seni liberal swasta yang menawarkan
jurusan akuntansi. Sementara lembaga yang kedua, American Assembly of Colligiate School Business (AACSB) merupakan
lembaga yang terpandang dalam mengadakan program akuntansi. Sampel dipilih
dengan menggunakan perencanaan kelompok sampel (sampling cluster) multi tahap
dan terdiri atas 46 mahasiswa baru, 54 mahasiswa senior dari fakultas akuntansi,
dan 43 alumni (yang sekarang bekerja di kantor akuntan public). Hasilnya
menunjukkan tiga temuan utama, yaitu 1) skor DIT dari senior dan alumni dari
masing-masing sekolah secara rata-rata adalah lebih tinggi daripada mahasiswa
baru dari masing-masing sekolah; 2) variasi skor DIT dalam strata alumni secara
signifikan lebih rendah daripada variasi dalam peringkat mahasiswa untuk kedua
lembaga; 3) siswa dan alumni dari sekolah yang menawarkan kurikulum seni
liberal sedikit lebih maju dalam pemahaman mengenai ukuran DIT daripada siswa
dan alumni lembaga dengan program akuntansi yang lebih tradisional. Konsisten
dengan temuan dari M. Armstrong, hanya mahasiswa senior dan alumni dari kampus
seni liberal menunjukkan skor DIT yang serupa dengan kampus lainnya.
Hasil
yang berlawanan ditemukan oleh Jeffrey di universitas negeri besar di bagian
barat tengah Amerika Serikat. Temuan menunjukkan bahwa perkembangan etika
mahasiswa akuntansi lebih tinggi daripada perkembangan etika mahasiswa dalam
divisi yang lebih rendah dengan mahasiswa akuntansi senior menampilkan tingkat
tertinggi. Perbedaan hadil dari Ponemon dan Glazer dianggap disebabkan oleh
perbedaan dalam atmosfir antara sekolah swasta dan sekolah publik, sebagaimana
halnya bias seleksi karena perbedaan indivudial mengarahkan siswa pada seleksi
jurusan mereka.
St. Pierre, Nelson dan Gabbin
(1990)
St
Pierre et al mengkaji hubungan tingkat moral reasoning. Sampel yang terdiri
atas 479 mahasiswa senior dari seluruh disiplin ilmu yang terdiri atas jurusan
bisnis dan non bisnis pada universitas ukuran menengah di bagian timur Amerika
Serikat diminta untuk melengkapi DIT. Ukuran lain yang dikumpulkan berkaitan
dengan subjek adalah jurusan, gender, dan paparan awaln terhadap etika dalam
kurikulum formal. Temuan menunjukkan bahwa mahasiswa dalam tiga jurusan
non-bisnis mempunyai skor DIT yang tinggi dibandingkan dengan jurusan bisnis.
Selain itu, mahasiswa akuntansi bperempuan mempunyai skor yang lebih tinggi
daripada mahasiswa akuntansi laki-laki. Mahasiswi akuntansi juga menunjukkan
skor yang lebih tinggi daripada senior dari jurusan lain. Paparan terhadap
pendidikan etika tidak menunjukkan dampak yang signifikan. Terakhir tingkat
moral reasonimg dari mahasiswa akuntansi yang diperoleh dari studi sekarang
serupa dengan yang ditemukan oleh M. Armstrong.
Ponemon (1993a)
Ponemon
mengkaji pengaruh interensi etika terhadap perkembangan perilaku etis mahaiswa akuntansi.
Intervensi etika tersebut didasarkan pada tinjauan dan diskusi kasus etika
setelah kerangka kerja pendidikan sudah diketahui dalam sepuluh minggu pertama
dari suatu semester. Mahasiswa yang menjadi subjek menyelesaikan DIT dan
eksperimen pilihan ekonomi yang didasarkan pada Prisoners Dilemma. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi etika
tidak menyebabkan tingkat ethical
reasoning dari mahasiswa akuntansi meningkat dan tidak membatasi perilaku
free riding siswa pada eksperimen pilihan ekonomi. Selanjutnya, ditemukan bahwa
mahasiswa dengan tingkat pra dan pascakonvensional dalam ethical reasoning paling mungkin untuk melakukan free riding.
M. Armstrong (1993)
Armstrong
menampilkan hasil pra dan pascapengujian dari pengembangan moral untuk siswa
yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme di universitas yang
didukung oleh Negara bagian Amerika Serikat. Kursus profesional dan etis
memasukkan pembahasan mengenai landasan teoretis, pedoman profesional,
investigasi kongres, respons profesional, Komisi Perdagangan Federal, survey
opini publik, dan studi kasus (terintegrasi pada seluruh kursus). Kelompok
tersebut terdiri dari 21 siswa yang mengikuti mata kuliah profesionalisme dan
etika, dan 33 siswa masuk dalam Akuntansi tingkat menengah yang menjadi
kelompok control. Seluruh siswa menyelesaikan DIT pada hari pertama dan kedua
masuk kelas. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang mengikuti mata kuliah etika
dan profesionalsme mengalami kenaikan skor DIT lebih tinggi pada semester
tersebut dibandingkan dengan mereka yang ada dalam kelompokn control. Mahasiswa
yang mengalami kenaikan terbesar adalah mereka yang sebelumnya menyelesaikan
satu atau lebih mata kuliah etika. Penulis menganggap bahwa hasil tersebut
menarik, berdasarkan pada panggilan kesadaran mahasiswa yang luas terhadap isu
etika dan profesionalisme dengan menekankan kepada pemikiran kritis.
Lampe (1994)
Lampe
menyampaikan hasil dari studi akuntansi longitudinal tingkat mahasiswa
sehubungan dengan moral reasoning di Universitas Southwestern, Amerika Serikat.
Selama jangka waktu empat tahun, kasus etika dan muatan etis ditambah pada mata
kuliah manajerial dan keuangan tingkat menengah, bersama-sama dengan
prinsip-prinsip auditing dengan harapan bahwa mata kuliah ini akan meningkatkan
perkembangan etika siswa. Mahasiswa akuntansi mengisi tiga formulir yang
terpisah: 1) respons sikap tentang perilaku etika sesame mahasiswa akuntansi,
2) keputusan dan alasan terhadap empat dilemma etika dalam Vignette, 3) DIT.
Total respons yang dapat digunakan 472 buah. Mahasiswa auditing tingkat senior
mengisi formulir ini setiap tahunnya selama periode tahun 1990-1991 sampai
dengan tahun 1993-1994. Mahasiswa junior menyelesaikan formulit DIT
masing-masing selama periode tahun 1991-1992 sampai tahun 1992-1993. Hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran keputusan moral mahasiswa, penalaran dalam situasi
dilemma etika, keputusan dan sikap terhadap perilaku etika tetap tidak berubah.
Lampe menyampaikan bahwa mahasiswa akuntansi tetap berorientasi terhadap aturan
yang diimplikasikan oleh kode etika untuk mata kuliah tersebut.
2)
Studi
Pengembangan Etika
Diskusi mengenai hasil
dari studi ini dan pengembangan etika lainnya dijelaskan di bawah ini.
Ponemon (1990)
Ponemon
menyelidiki ethical reasoning dan
penilaian praktisi akuntansi dalam perusahaan publik. Lima puluh dua praktisi
CPA dari bermacam-macam posisi di perusahaan publik di daerah timur laut
Amerika serikat berpartisipasi dalam studi. Subjek mengisi wawancara penilain
moral atau MJI dan paradigm auditing. Dilemma auditing dikembangkan dari studi
kasus dari kehidupan nyata yang melibatkan kantor akuntan publik dan dua klien
audit besar. Dilemma tersebut digambarkan sebagai serangkaian kejadian yang
terjadi dalam situasi krisis dengan kedua klien. Baik MJI dan dilemma auditing diskor
secara serupa, sehingga memungkinkan untuk membandingkan secara langsung kedua
skor tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa skor subjek tidak berbeda secara
signifikan antara kedua dilemma. Investigasi selanjutnya atas respons verbal
terhadap dilemma auditing menunjukkan bahwa subjek pada tingkat posisi yang
berbeda dalam perusahaan menggunakan isu berbeda dengan frekuensi berbeda dalam
resolusi kasus mereka. Tipe isu yang digunakan adalah konsisten dengan temuan
bahwa tingkat posisi dalam perusahaan dan tingkat moral reasoning berhubungan
secara terbalik.
Ponemon (1992a)
Ponemon
menyelidiki pengaruh dari sosialisasi kantor akuntan publik terhadap tingkat ethical reasoning masinh-masing CPA.
Studi dari sosialisasi perusahaan sebelumnya menunjukkan bahwa manajemen lebih
bias mendorong individu yang mempunyai pandangan organisasi umum yang sama.
Studi dalam profesi akuntansi telah menunjukkan bahwa individu yang tetap berada
dalam profesinya mengasimilasikan budaya perusahaan. Untuk menyelidiki
eksitensi sosialisasi etika dalam profesi akuntansi, Ponemon menggunakan sampel
CPA dari bermacam-macam posisi dari perusahaan akuntansi di seluruh Amerika
serikat. Konsisten dengan temuan sebelumnya, hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa skor DIT auditor meningkat pada tingkat penyedia, tetapi kemudian menurun
tajam pada tingkatan manajer dan partner. Selanjutnya, dalam eksprimen yang
menuntut seorang manejer audit untuk memprediski potensi promosi bagi
sekelompok auditor senior, ditemukan bahwa penilaian promosi dari manajer
tersebut cenderung bias terhadap senior yang memilih tingkat ethical reasoning serupa dengannya,
memberikan bukti lebih lanjut tentang eksitensi sosialisasi etika.
Shaub (1994)
Shaub
menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas 207 auditor dan sampel
yang terdiri atas 91 mahasiswa akuntansi senior dengan enam variabel
demogratis. Hasilnya menunjukkan bahwa usia dan pendidikan tidak secara
signifikan berhubungan dengan tingkat moral
reasoning kedua sampel. Tingkat moral
reasoning yang lebih tinggi ditemukan untuk perempuan, individu dengan
nilai rata-rata yang lebih tinggi dan individual yang mengambil mata kuliah
etika. Selanjutntya, tingkat moral reasoning meningkat pada tingkat staf yang
telah bekerja selama tiga tahun dan kemudian menurun mulai dari tingkat senior
sampai tingkat partner. Temuan ini konsisten dengan temuan Ponemon.
Sweeney (1995)
Sweeney
memperluas garis riset ini dengan menyelidiki asosiasi antara faktor-faktor
demografis dan organisasional (misalnya kepuasan kerja, posisi, gender, dan
status sosio-ekonomi) dengan tingkat moral
reasoning dari auditor. Sebuah kuesioner dan DIT dikirim kepada auditor
dari delapan kantor akuntan publik di bagian barat tengah Amerika serikat dan menghasilkan sampel akhir
yang terdiri atas 314 subjek. Konsisten dengan hasil yang disampaikan oleh
Ponemon, studi tersebut menunjukkan bahwa skor DIT menurun seiring dengan
peningkatan tingkat posisi pada perusahaan sampel. Investigasi selanjutnya
menunjukkan bahwa keahlian moral sangat berhubungan dengan orientasi politik
auditor (liberal atau konservatif) dan gender.
Jeffrey dan Weatherholt (1996)
Jeffrey
dan Weatherholt menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen profesional,
dan sikap terhadap aturan antara akuntan pada kantor akuntan publik yang
termasuk kategori 6 besar (big 6) dan akuntan pada perusahaan yang termasuk
dalam Fortune 500. Mereka menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam
tingkat pengembangan etika di kedua kelompok tersebut atau peringkat dalam
kantor akuntan publik. Namun demikian,
terdapat perbedaan antara kantor akuntan publik dengan kantor akuntan
perseorangan. Komitmen profesional partner lebih kuat daripada komitmen
profesional senior, sementara sikap terhadap aturan tidak berbeda di antara
kedua kelompok atau peringkat di kantor akuntan publik. Komitmen profesional
dan kepatuhan pada aturan secara signifikan dan positif saling berhubungan.
Komitmen profesional dan pengembangan etika berhubungan secara terbalik. Hasil
ini menunjukkan bahwa proses tingkat sosialisasi mungkin berbeda sesuai dengan
limgkungan kerjanya.
Kite, Louwer, dan Randtke (1996)
Kite,
Louwer dan Randtke mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoning antara auditor lingkungan, auditor internal lain,
dan akuntan publik dengan asumsi bahwa auditor dengan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi
kemungkinan akan memilih sendiri lingkungan penugasan audit mereka. Lima puluh
dua auditor praktik untuk audit lingkungan dan 26 auditor internal dari 21
perusahaan di Amerika serikat menyelesaikan dan mengembalikan survey lingkungan
dan DIT lingkungan. Hasil dari studi ini tidak mendukung hipotesis bahwa auditor
lingkungan mempunyai skor DIT yang rata-rata lebih tinggi daripada akuntan
publik. Analisis tambahan menunjukkan bahwa auditor yang meminta posisi di
bidang audit lingkungan secara signifikan mempunyai skor DIT lebih tinggi
daripada yang ditentukan oleh perusahaan mereka untuk posisi tersebut.
3)
Studi
Keputusan Etis
Studi keputusan etis
berfokus kepada hubungan antara bermacam-macam ukuran dan perilaku spesifik
terhadap bidang akuntansi. Bagian berikut menelaah studi representative yang
mengkaji:
Isu Independensi
Ponemon
dan Gabhart (1990)
Ponemon
dan Gabhart mengkaji hubungan antara penilaian independensi auditor dengan
tingkat moral reasoning. Sampel
terdiri atas 119 partner audit dan manajer dari dua kantor akuntan publik
nasional di kota Northeastern,
Amerika serikat. Subjek menyelesaikan DIT dan studi kasus yang melibatkan
dilema auditor dalam hal independensi. Instrumen studi kasus meminta subjek
untuk membaca studi kasus hipotesis dan menilai strategi independensi yang
benar untuk diikuti didasarkan pada lingkungan kasus tersebut. Dua manipulasi
melibatkan diskusi dari atribut auditor-afiliasi dan penalty eksplisit jika
auditor ditangkap. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor denga skor DIT rendah
lebih mungkin untuk melanggar aturan independensi dan lebih sensitif terhadap
persepsi penalty yang diakibatkan oleh perilaku yang salah. Skor DIT juga
menjelaskan peringkat prioritas dalam atribut independensi, sementara
faktor-faktor ekonomi, seperti profitabilitas klien dan litigasi adalah lebih
penting bagi auditor dengan skor DIT rendah.
Windor
dan Ashkanasy (1995)
Windsor
dan Ashkanasy mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasional,
pengembangan moral reasoning, dan kepercayaan dalam dunia memengaruhi
independensi auditor serta gaya pengambilan keputusan (otonom, akomodasi,
pragmatis). Dalam studi mereka, auditor berpengalaman diminta untuk
menyelesaikan skala kepercayaan dalam keadilan, DIT tiga cerita dan skala
budaya organisasional. Hasilnya menunjukkan bahwa budaya organisasional
berhubungan dengan pengembangan moral reasoning auditor dan kepercayaan
pribadi, tetapi tidak ada perbedaan di antara ketiga gaya pengambilan
keputusan.
Schatzberg,
Sevcik, dan Shapiro (1996)
Dengan
menggunakan metodologi ekonomi eksperimental, Schatzberg et al., menguji
validitas dari tiga kondisi ekonomi umum yang dianggap penting terhadap
kerusakan independensi. Kondisi tersebut adalah: 1) perhatian klien terhadap
isu pelaporan, di mana variasi pelaporan lintas bagian harus ada pada auditor
yang bertahan dalam periode tersebut; 2) quasi rent harus sesuai dengan yang
ada untuk periode selanjutnya; 3) jika kedua kondisi pertama ada, biaya manfaat
ekonomi gabungan dalam situasi multiperiode seharusnya juga menghasilkan
manfaat ekonomi bersih bagi auditor dari kerusakan independensi.
Shaub
dan Lawrence (1996)
Shaub
dan Lawrence menyelidiki latihan skeptisme profesional auditor sebagaib sebuah
alat untuk menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Mereka
mendefinisikan skeptisme sebagai fungsi dari 1) disposisi etis, 2) pengalaman,
3) faktor-faktor situasional. Auditor di posisi yang lebih tinggi dan staf dari
56 kantor akuntan publik yang berbeda, namun semuanya termasuk dalam kategori 6
besar, diminta untuk menyelesaikan Sembilan scenario pendek, DIT tiga cerita,
dan kuesioner berorintasi etika. Temuan menunjukkan bahwa auditor yang
menguasai situasi etis tidak terlalu skeptis dan tidak terlalu memperhatikan
isu etis profesional.
Pelanggaran Lain Kode dan Perilaku
Profesional AICPA
Lampe
dan Finn (1992)
Guna
semakin memahami situasi di mana dianggap melanggar kode etik dan perilaku
profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model atas proses keputusan etis
auditor dengan mengembangkan model lima elemen (mendapatkan pemahaman, mengakui
dampak, mempertimbangkan keputusan alternatif, menilai mengunakan nilai lain,
mengambil keputusan final) untuk dibandingkan dengan model berbasis kode etik
dan perilaku profesional AICPA. Seratus dua puluh Sembilan mahasiswa auditing
senior, 106 staf auditor dengan pengalaman satu sampai dua tahun, dan 123
manajer audit dengan enam tahun pengalaman atau lebih menyelesaikan DIT,
menyampaikan keputusan ya atau tidak pada tujuh vignette dilemma auditor, dan alasan pemberian peringkat untuk
masing-masing keputusan vignette.
Hasilnya menunjukkan bahwa model lima elemen lebih baik dalam mencerminkan
keputusan-keputusan yang dibuat dan lebih baik dalam mengenali alasan terhadap
keputusan-keputusan tersebut dibandingkan dengan model implikasi kode.
Selanjutnya model lima elemen ini memberikan pengukuran atas sejauh mana
faktor-faktor non-kode lainnya, seperti kepentingan diri dan perhatian terhadap
pengaruh pengambilan keputusan etika auditor lainnya terlihat. Terakhir,
terdapat bukti bahwa proses sosialisasi terjadi segera setelah masuk ke dalam
profesi auditing.
Shaub,
Finn, dan Munter (1993)
Shaub
et al., mengkaji orientasi etika, komitmen, dan sensitivitas etika auditor yang
bekerja di kantor akuntan 6 Besar. Subjek diminta untuk menyelesaikan empat
skala validasi yang mengukur komitmen profesional, komitmen organisasional,
idealisme, dan relativisme. Subjek juga merespons terhadap scenario auditing
yang mengukur sensitivitas etika yang ada dalam masalah pribadi atau
profesional, serta tiga isu etis yang melekat. Subjek diminta untuk
mengidentifikasikanb dan memeringkat masalah yang dianggap penting dalam
scenario tersebut. Hasilnya menujukkan bahwa sensitivitas etika auditor
sebagaimana halnya dengan komitmen profesional mereka, dipengaruhi oleh
orientasi etis mereka. Ditemukan bahwa pengurangan dari tingkat sensitivitas
etika dan peningkatan dari tingkat komitmen profesional berhubungan dengan
idealisme. Meskipun demikian, peningkatan tingkat komitmen profesional ini
tidak menghasilkan auditor yang lebih sensitif terhadap etika.
Dreike
dan Moeckel (1995)
Dreike
dan Moeckel menganalisis keputusan-keputusan auditor senior berkaitan dengan
situasi dengan kemungkinan dimensi etika. Auditor diminta untuk menunjukkan
pola fakta yang terlibat dalam isu etika dan kemudian memeringkat urutan isu
etis berdasarkan signifikansi. Selain itu, mereka diminta untuk
mengidentifikasi situasi mana yang mereka hadapi, serta memilih faktor-faktor
(dari daftar yang disediakan) yang memotivasi pengambilan keputusan etis mereka
sendiri.
Mendeteksi dan Mengomunikasikan
Kecurangan
Arnold
dan Ponemon (1991)
Arnold
dan Ponemon mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam konteks tingkat moral reasoning mereka. Total sebanyak 106 auditor internal dari
sektor publik dan swasta di bagian timur laut Amerika serikat berpartisipasi
dalam eksperimen tersebut. Masing-masing subjek diminta untuk menyelesaikan
instrumen eksperimen yang didasarkan pada scenario whistle-blowing dan DIT. Tugas whistle-blowing
meliputi dua kondisi yang berhubungan dengan posisi dari orang-orang yang
menemukan kecurangan dan sifat dari balas dendam yang dihadapi oleh whistle-blowing (pengadu). Hasilnya
menunjukkan bahwa auditor internal dan skor DIT lebih tinggi lebih mungkin
mengungkapkan temuan audit sensitif, bahkan ketika tindakan balas dendam oleh
manajemen terjadi. Selanjutnya, auditor dengan skor DIT yang rendah kemungkinan
tidak menyampaikan pengaduan ketika terdapat kemungkinan balas dendam seperti
pemberhentian.
Finn
dan Lampe (1992)
Finn
dan Lampe berusaha membuat model dari keputusan whistle-blowing auditor. Sebagai tambahan variabel intensitas
moral, variabel situasi-kontijen dan individual juga dimasukkan dalm model. DIT
digunakan untuk mengukur tingkat moral reasoning auditor, sementara konteks
pekerjaan, karakteristik pekerjaan, dan budaya organisasional digunakan sebagai
variabel situasi-kontinjen. Sebuah sampel yang terdiri atas 106 staf auditor
dengan satu sampai dengan dua tahun pengalaman, 123 auditor tingkat manajemen
dengan pengalaman enam tahun atau lebih, dan 129 mahasiswa yang lulus mata
kuliah auditing tingkat lanjutan menyelesaikan empat vignette dilemma etis dan
DIT tentang whistle-blowing auditor.
Hasilnya menunjukkan bahwa keputusan etis auditor dan keputusan-keputusan whistle-blowing mereka berhubungan
secara signifikan. Selanjutnya, jumlah pengalaman audit lebih berhubungan
dengan keputusan etis yang lebih homogen. Selain itu, meskipun mayoritas
auditor setuju bahwa tindakan tertentu adalah tidak etis, mereka sangat segan
untuk menyampaikan pengaduan pada orang lain yang tidak mempunyai keyakinan
yang sama.
Ponemon
(1993b)
Ponemon
memperluas riset sebelumnya tentang tingkat moral
reasoning auditor dengan menyelidiki pentingnya ethical reasoning sebagai
determinan penilaian auditor terhadap karakteristik etis dari manajemen klien.
Sampel terdiri atas 61 manajer audit dari satu kantor akuntan internasional.
Subjek diminta untuk menyelesaikan DIT, survei dengan mana mereka menilai
kompetensi dan integritas personel penting klien untuk klien audit actual di
perusahaan, dan instrumen eksperimen dengan mana mereka menilai kemungkinan
untuk mendeteksi kesalahan akuntansi yang material melalui empat penanganan
berkaitan dengan kompetensi dan integritas manajemen. Hasilnya menunjukkan
bahwa ethical reasoning auditor
dipengaruhi oleh penilaian risiko audit dan prediksi mereka berkaitan dengan
pendeteksian kesalahan akuntansi yang manajerial. Hasil ini serupa dengan
temuan Bernadi yang menujukkan bahwa auditor dengan skor DIT yang lebih tinggi
secara subtansial lebih baik dalam mendeteksi penipuan daripada auditor dengan
skor DIT yang rendah.
Hooks,
Kaplan, dan Schultz (1994)
Hooks
et al., menyelidiki satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi penipuan dalam
pengambilan keputusan. Seperti dijelaskan oleh Komisi Treadway, komunikasi
adalah dimensi kontrol lingkungan yang penting. Didasarkan pada riset sebelumya
tentang fenomena whistle-blowing, tim
ini juga mengidentifikasi area perbaikan yang berbeda dalam sistem komunikasi.
Bernadi
(1994)
Bernadi
meneliti hubungan antara ethical
reasoning dengan kemapuan auditor untuk mendeteksi penipuan informasi dalam
laporan keuangan. Dalam studi eksperimental ini, 494 auditor berpengalaman di
bagian timur laut Amerika serikat menelaah sekumpulan isyarat keuangan dan
kontekstual kompleks yang berkaitan dengan kualitas informasi laporan keuangan
untuk perusahaan klien hipotetis. Selain itu, bibit kesalahan samar
mengindikasikan eksiotensi kesalahan material dan kemungkinan penipuan rill
dimasukkan dalam satu isyarat yang
diterima oleh auditor. Hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman, ethical
reasoning, dan konfigurasi pengalaman memengaruhi kemampuan auditor untuk
mendeteksi dan membuat kerangka akuntansi yang dipertanyakan. Secara khusus,
auditor dengan tingkat DIT yang tinggi dan pengalaman di bidangnya yang relatif
tinggi secara substantial lebih baik dalam mendeteksi penipuan daripada auditor
dengan DIT yang rendah.
Ketidakpatuhan Pembayar Pajak
Ghosh
dan Crain (1996)
Ghosh
dan Crain berusaha mengidentifikasikan faktor-faktor individual dan situasional
yang memengaruhi ketidakpastian terhadap pahak. Mahasiswa jurusan bisnis
diminta untuk menyelesaikan tugas eksperimental yang berhubungan dengan
pergerakan biaya. Ketidakpatuhan yang disengaja dari subjek diajukan sebagai
sebuha fungsi probalita audit dan standar etika individual yang dirasakan.
Hasilnya menunjukkan bahwa faktor-faktor individual dan situasional secara
psikologis merupakan aspek yang menonjol dari keputusan-keputusan dalam
ketidakpatuhan pajak.
Hanno
dan Violette (1996)
Hanno
dan Violette menyelidiki pengaruh social dan moral yang mendasari pembayar
pajak dalam usaha mengembangkan model integrative perilaku kepatuhan pajak.
Teori penalaran aksi digunakan untuk mengidentifikasi keyakinan menonjol yang
berhubungan dengan keputusan-keputusan kepatuhan pajak. Mahasiswa tingkat
lanjytan mengevaluasi sepuluh kemungkinan konsekuensi dari kepatuhan atau
ketidakpatuhan terhadap hukum pajak federal guna mengukur norma subjektif
(perusahaan, keluarga, dan teman). Hasilnya menunjukkan bahwa niat untukn patuh
berhubungan dengan laporan diri dan perilaku keputusan hipotesis.
Perilaku Disfungsional Lain
Ponemon
(1995)
Ponemon
mengkaji objektivitas akuntan ketika berfungsi sebagai spesialis ligitasi dan
saksi ahli dalam kasus hukum. Sampel terdiri atas 101 spesialis pendukungan
litigasi dan 106 auditor tanpa latar belakang atau pengalaman dalam bidang
layanan litigasi dengan jabatan mulai dari staf sampai tingkat partner di dua
kantor akuntan publik di bagian barat laut Amerika serikat. Subjek diminta
untuk menyelesaikan DIT dan tugas eksperimental didasarkan pada perhitungan
persediaan fisik yang rusak dalam kebakaran gudang dengan menggunakan metode
laba kotor. Hasil ini menunjukkan bahwa auditor tidak mampu menghubungkan
pengalaman mereka secara eksperimen yang didasarkan pada situasi litigasi atau
perilaku etis, seperti objektivitas dan idependensi yang merupakan peranan yang
sudah ditemukan.
4)
Studi
Etis Lintas Budaya
Ponemon
dan Gabhart (1993), Etherington dan Schulting (1995)
Ponemon
dan Gabhart meneliti profesi auditing dari dua kantor akuntan besar dengan
praktik di Amerika Serikat dan Kanada menggunakan DIT dan instrumen
eksperimental lainnya. Sasaran utama dari studi ini adalah menilai dampak dari
perbedaan dari lintas Negara terhadap keputusan etika dari individu praktisi
auditing. Hasilnya membuktikan dengan jelas semacam-macam perbedaan antara
profesi akuntansi Kanada dan Amerika serikat dalam hal skkor rata-rata DIT.
Auditor di Kanada dan Amerikan serikat dalam hal skor rata-rata DIT yang lebih
tingi dibandingkan dengan auditor Amerika serikat. Dengan kata lain, proses
seleksi-sosialisasi yang dianggap penting oleh profesi akuntan di Amerika
serikat mungkin terdapat di perusahaan-perusahaan besar Kanada.
Schultz, Johnson, Morris, dan
Dyrnes (1993)
Schultz
et al., meneliti kecenderungan manajer perusahaan dan profesional untuk
melaporkan tindakan yang dapat dipertanyakan dalam konteks internasional dan
domestic. Tindakan yang dipertanyakan didefiniskan sebagai tindakan yang
melanggar standar keadilan, kejujuran atau ekonomi. Definisi ini konsisten
dengan konsepsi literatur audit eksternal yang melibatkan kesalahan dalam
laporan keuangan, tindakan illegal, dan pelanggaran terhadap pengendalian
internal. Variabel independen adalah kemakmuran organisasi dan Negara, serta
sifat dari situasi yang mendasari tindakan yang dipertanyakan. Hasil ini
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dengan divisi yang
terletak di Negara-negara berbeda mungkin perlu mengimplementasikan sistem
pengendalian yang berbeda untuk mencapai tingkat reliabilitas yang serupa.
Cohen, Pant, dan Sharp (1995a)
Cohen
et al., menyajikan pengujian empiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor akuntan
publik multinasional seharusnya secara jati-hati memperhatikan dampak keragaman
budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan pengambilan keputusan.
Studi ini memasukkan subjek dari Amerika serikat, Jepang, dan Amerika latin
yang menyelesaikan MES. MES memasukkan lima konstruksi moral yaitu dimensi
keadilan, relativisme, egoime, utilitarisme, dan deontologis. Delapan vignette etika yang berhubungan dengan
auditing menggambarkan tentang generasi, penahanan, dan tagihan klien. Seluruh
subjek adalah profesional audit dari satu kantor akuntan publik multinasional,
dengan 38 subjek dari Jepang, 38 dari Amerika latin, dan 62 dari Amerika
serikat. Hasilnya mununjukkan bahwa subjek Amerika serikat pada umumnya melihat
tindakan yang dijelaskan dalam vignette
sebagai tindakan yang lebih etis dibandingkan dengan subjek Jepang atau Amerika
latin.
D.
Implikasi
bagi Riset Mendatang
Salah
satu masalah yang menonjol yang masih dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam
menyelidiki dimensi etika profesi akuntansi berhubungan dengan keputusan apakah
akan terus memperluas dan menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka
kerja pengambilan keputusan etika empat komponen dari Rest.
Dengan
cara yang sama, Ponemon dan Gabhart dalam bidang etika untuk auditor dan akuntan
mengakui bahwa keputusan-keputusan akuntan telah menjadi subjek dari
bermacam-macam kelompok konstituen termasuk organisasi klien yang membayar
pelayanan mereka, kantor akuntan profesional di mana karyawan menjadi anggota
akuntan, profesi akuntan itu sendiri, dan publik umum. Tanggung jawab yang
beragam ini menujukkan bahwa proses resolusi konflik etika akuntan mungkin
tidak cukup sesuai dengan model pengambilan keputusan yang lebih umum dari
Rest.
Berdasarkan
fakta bahwa mayoritas riset perilaku etis akuntan didasarkan pada teori moral
reasoning dari Kohlberg (dan DIT yang berhubungan), maka adalah logis untuk
memulai diskusi mengenai pertanyan etis tidak terpecahkan yang memengaruhi
profesi akuntan dari titik ini. Kolhberg menyatakan bahwa individu bergerak
disepanjang tahap seperti anak tangga, apakah hal ini mengimplementasikan bahwa
bagi akuntan, tahap yang lebih tinggi merupakan tahap yang lebih disukai.
Cohen
et al., menyampaikan bahwa DIT berhubungan dengan keputusan moral yang
merupakan komponen kedua dari model Rest (1986), dan bahwa MES berhubungan
dengan sensitivitas moral, yang merupakan komponen pertama. Selanjutnya, mereka
menyampaikan hipotesis dari hubungan antara teori Atzen dan Fishbein tentang
perencanaan perilaku dan tiga komponen (motivasi moral) serta empat komponen
(karakter moral). Identifikasi ukuran motivasi dan karakter moral akan
menyediakan alat-alat pengukuran terhadap perilaku etisyang lebih kompresensif.
Salah
satu kritik Fogarty terhadap DIT adalah bahwa DIT hanya mengukur tingkat moral
reasoning individu. Sebaliknya, ia menyampaikan bahwa fokus seharusnya
diarahkan pada profesi secara keseluruhan. Argument ini bermanfaat karena
sebagian besar bisnis (khususnya kantor akuntan publik) cenderung bersifat
hierarki.
Salah
satu penyelasan yang mungkin, namun relatif belum diselidiki oleh riset yang
mengkaji perilaku etis akuntan adalah bahwa peranan yang dimainkan oleh
variabel-variabel moderasi dalam menekan perilaku etis disfungsional. Contoh,
profesi akuntansi unik di mana anggotanya sering kali bertanggung jawab kepada
bermacam-macam kelompok konstituen. Beberapa pihak internal dan eksternal serta
lembaga perudang-undangan dengan mana akuntan berinteraksi untuk mengurangi
perilaku yang tidak etis. Selain itu dengan pengecualian Lampe dan Finn,
hubungan antara kepatuhan terhadap kode etik dan perilaku profesional AICPA
serta keputusan-keputusan etika akuntan tetap masih belum diselidiki.
Ringkasnya,
banyak riset telah diselesaikan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan etika yang
dihadapi oleh akuntan. Meskipun demikian, masih lebih banyak lagi yang masih
perlu diteliti. Peneliti akuntansi keperilakuan beruntung menjadi bagian dari
profesi yang kaya dalam masalah subjek dan ragam subjek. Identifikasi yang
kontinu dan eksplorasi terhadap masalah etika yang unik dalam profesi akuntansi
dapat memberikan pedoman bukan saja untuk mengambarkan model bidang yang
spesifik, melainkan juga permahaman tentang pengambilan keputusan etis pada
umumnya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Riset sebelumnya
tentang perilaku etis dan penalaran akuntan telah menyorot beberapa bidang
perhatian bagi profesi akuntansi. Misalnya, temuan dari studi pendidikan etis
telah menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat
moral reasoning sama seperti lulusan
kampus lain. Selanjutnya, dalam profesi akuntansi, studi pengembangan etis yang
mengkaji korelasi dari tingkat moral
reasoning tampaknya berhubungan secara terbalik. Secara khusus, Ponemon
menemukan bahwa penilaian manajer audit dalam rangka promosi atas anggota suatu
kelompok staf audit cenderung bias karena didasarkan pada tingkat moral reasoning yang serupa dengan
dirinya. Hasil ini konsisten dengan hipotesis bahwa sosialisasi kantor akuntan
mungkin menekan perkembangan moral auditor individual.
Konsep
sosialisasi etis dalam profesi akuntansi secara khusus menjadi relevan.
Berdasarkan studi keputusan etis, ditemukan bahwa akuntan dan auditor dengan
tingkat moral reasoning lebih rendah
lebih mungkin untuk melakukan perilaku yang disfungsional.
Budaya mungkin
berperan mengurangi perilaku pengambilan keputusan etis akuntan. Studi etis
lintas budaya telah menunjukkan bahwa akuntan di Negara-negara lain mempunyai
tingkat moral reasoning berbeda
dengan akuntan di Amerika serikat. Berdasarkan perbedaan ini, tidaklah
mengherankan bahwa juga terdapat persepsi yang berbeda mengenai tindakan yang
dipertanyakan yang digambarkan dalam vignette
kepada subjek dari Negara yang berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Lubis, Arfan Ikhsan. Akuntansi Keperilakuan. Edisi 2: Salemba
empat.
Komentar
Posting Komentar